Beranda | Artikel
Fikih Riba (Bag. 3): Hikmah Diharamkannya Riba
9 jam lalu

Menjadi hal yang tidak lagi tabu akan riba dan hukumnya. Namun, bagi sebagian orang sulit untuk meninggalkan riba. Mereka beralasan dengan berbagai macam alasan bagaimana caranya riba bisa menjadi halal “menurut mereka”. Seakan ilmu yang didengar, dibaca, dan mereka peroleh hanya sebatas pengetahuan belaka. Sehingga larangan-larangan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tetap diterjang dan tidak mereka pedulikan, yang penting keuntungan dapat diperoleh dan dapat mereka nikmati.

Ketahuilah, bahwasanya transaksi riba sama saja dengan mengundang azab Allah Ta’ala. Tidakkah mereka ingin mendengar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا ظهرَ الزِّنا و الرِّبا في قَريةٍ ، فقد أَحَلُّوا بأنفسِهم عذابَ اللهِ

“Apabila pada suatu kampung (tempat) telah tampak perbuatan zina dan riba, maka sejatinya mereka mengundang azab Allah untuk diri mereka sendiri.” (HR. Al-Hakim dan disahihkan oleh Syekh Al-Albani)

Dikarenakan maksiat dan dosa adalah pokok segala musibah dan keburukan di dunia dan akhirat, keduanya sebagai sebab terjadinya azab. Karenanya, pada hadis ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dua perbuatan yang termasuk dosa besar, yaitu zina dan riba.

Peringatan tentang riba pada hadis ini tertuju paling utama kepada pemberi pinjaman, peminjam, dan masyarakat yang menyaksikan praktek transaksi riba tersebut dan rida terhadap praktek tersebut dan tidak berusaha untuk mencegahnya. Hal tersebut diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, “pada suatu kampung”.

Yakni, jika transaksi riba telah meluas pada suatu kaum, kemudian mereka tidak menindak perbuatan tersebut, sejatinya mereka sedang bersama-sama untuk mengundang azab Allah Ta’ala ke tempat mereka. Sehingga yang paling utama adalah keberkahan akan dicabut dari tempat tersebut.

Terlebih saat ini riba dibuat seolah-olah menarik dan tidak ada keharaman padanya. Dinamakanlah riba dengan “bunga”, seolah-olah tidak ada keharaman padanya dan berbentuk kesenangan ketika memperoleh “bunga”. Terkadang penggunaan kata “biaya adminstrasi” pun ikut serta dalam pengelabuan dari hakikat riba yang sesungguhnya.

Oleh karena itu, para ulama menyebutkan sebuah kaidah untuk membantah hal-hal tersebut. Kaidah tersebut berbunyi,

العِبْرَةُ بِالْحَقَائِقِ وَالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي

“Yang menjadi patokan dalam suatu hal adalah hakikat dan makna sesungguhnya, bukan pada lafal (istilah) dan struktur kata-kata.”

Sehingga yang menjadi patokan atau timbangan adalah bukan dari kata-kata (nama atau istilah) yang disampaikan, melainkan dari hakikatnya. Jika hakikatnya haram, maka bagaimanapun kata-kata digunakan untuk mengelabui, maka hukumnya tetaplah haram. Dari hal ini, dapat diketahui bahwasanya tidak mungkin Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mengharamkan sesuatu kecuali terdapat hikmah dari hal tersebut.

Hikmah diharamkannya riba

Terdapat banyak hikmah diharamkannya riba, di antaranya [1],

  • Riba mengandung kezaliman yang jelas dan nyata. Terlebih dalam permasalahan riba dari utang-piutang, padanya terdapat perbuatan berupa mengambil harta orang lain tanpa adanya barang yang ditukar. Dari riba, pasti akan ada pihak yang dirugikan. Jika dalam hal utang piutang, tentu peminjam yang akan dirugikan, karena pinjamannya yang akan terus meningkat. Sedangkan pemberi pinjaman hanya menikmati hasil dari kelipatan riba yang diderita oleh peminjam.
  • Riba mendidik manusia untuk bermalas-malasan dan tidak ingin berusaha dengan mencari rezeki yang halal. Karena cukup baginya menitipkan hartanya pada suatu tempat, kemudian riba berjalan padanya, sehingga ia akan mendapatkan keuntungan yang tetap. Dibandingkan ia harus berusaha dan bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halal.

Oleh karena itu, orang-orang yang memakan riba ia akan terdidik dengan pola hidup yang demikian. Lama-kelamaan, tanpa sadar hartanya akan hancur dan tidak ada keberkahan sedikitpun dari setiap nominal yang bertambah.

  • Riba dapat menghilangkan kebiasaan berbuat baik kepada sesama manusia. Di sisi lain, riba pun dapat menutup pintu tolong-menolong dan berbuat baik. Riba dapat mengantarkan kepada berkumpulnya harta pada tangan orang-orang tertentu, atau yang dikenal dengan istilah plutonomi.

Dampaknya, yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Hal ini berangkat dari buruknya sistem transaksi riba. Kesenjangan ekonomi pun akan terus meningkat dan masyarakat akan terbagi menjadi dua, golongan yang kaya dan golongan yang miskin.

Di dalam Al-Qur’an, tidak lah terdapat ayat dari tahdzir (peringatan) terhadap riba, kecuali sebelumnya atau sesudahnya terdapat ayat yang berisikan anjuran untuk bersedekah, berinfak, dan tidak melupakan kebutuhan orang-orang fakir. Sehingga dari hal tersebut dapat diambil sebuah pelajaran, bahwa harta seharusnya tidak hanya berputar pada orang-orang kaya saja; dan orang-orang yang kuat tidak semena-mena dengan orang-orang yang lemah. Begitupun yang kaya tidak semena-mena dengan yang orang-orang yang miskin.

  • Riba merupakan salah satu penyebab tersebarnya pengangguran dan meluasnya fenomena tersebut di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemilik modal lebih memilih untuk meminjamkan uang mereka dengan sistem riba daripada menginvestasikannya dalam proyek-proyek industri, pertanian, atau perdagangan. Akibatnya, peluang kerja menjadi lebih sedikit, sehingga pengangguran semakin meluas di masyarakat yang banyak terdapat praktik riba.

Hal ini juga terbukti dari penderitaan yang dialami oleh negara-negara Barat yang menghadapi masalah pengangguran, meskipun mereka maju dalam teknologi dan industri. Beberapa penulis Barat telah menyampaikan fakta ini dan menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama meningkatnya pengangguran di masyarakat adalah meluasnya praktib riba.

  • Riba merupakan di antara penyebab tinggi atau mahalnya harga-harga barang. Hal ini dikarenakan apabila pemilik modal menginvestasikan uangnya dalam industri, pertanian, atau dalam pembelian suatu properti, ia tidak akan rela menjual properti tersebut atau barang yang dihasilkannya, kecuali dengan keuntungan yang lebih besar daripada presentase riba. Semakin tinggi presentase riba, semakin mahal pula harga-harga. Oleh karena itu, riba adalah salah satu penyebab utama naiknya harga-harga.

Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah dari terlarangnya riba. Pada akhirnya, riba diharamkan dikarenakan padanya terdapat mafsadat (kerusakan) dan madharat (bahaya). Tidak hanya merugikan person saja, namun riba dapat merugikan masyarakat, bahkan satu negara terkena dampaknya. Bukan suatu kedustaan jika dikatakan, dampak kerugian dari riba adalah dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 2

***

Depok, 28 Jumadal Ula 1447/ 18 November 2025

Penulis: Zia Abdurrofi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Diringkas dari video yang disampaikan oleh Syekh Sa’ad Al-Khatslan hafizahullah. 


Artikel asli: https://muslim.or.id/110540-fikih-riba-bag-3.html